![]() |
Terkadang tulisan kecilpun akan kuanggap sebagai sebuah karya seni yang indah |
Waktu praktikum preklinik saya telah usai. Kulihat temanku di depan memakai baju putih-putih. Ada stimulus untuk menyapanya, kubuka maskerku untuk memanggilnya. Kalimat pertanyaan terlontarkan dari mulut keringku ini dan mengajaknya untuk berdiskusi. Sejenak mengisi kekosongan waktu yang ada.
Kumulai dengan pertanyaan apa yang kau baca dan mengapa membacanya seperti itu. Keseriusan dengan titik fokus pada bacaan membawanya memaknai tiap rangkain kata yang ada.
Membaca dengan jiwa yang tenang dan nyaman tentu membuat suasana hati terlarut dalam suasana dari buku. Yah, itulah yang dirasakan temanku. Buku yang menyimpan kesan tanpa batas menjadi penghibur tersendiri bagi penikmatnya. Lantas bagaimana dengan penulisnya.
Aku mempertanyakan kepada temanku tentang apa yang dirasakan penulisnya ketika kita membaca tulisan di bukunya.
Seperti normalnya pertanyaan di balas dengan pernyataan berupa jawaban. Dia menjelaskan. "Yang dirasakan penulis yakni diatas ketenangan dan kenyamanan yang kau rasakan dalam wujud keabadian," begitulah yang dirasakan penulis, ucapnya.
Beberapa saat kemudian, aku bertanya lagi dengan kritisku. Tolak ukur keabadian penulis itu seperti apa? Dengan respon dia menjawab, akan kujelaskan analoginya.
Selanjutnya kusimak apa yang dimaksudkan kerabatku itu, dengan akal yang bertanya-tanya.
Dia menjelaskan ibaratnya, ada sebuah pulau yang ditinggali oleh 3 sekawan, mereka adalah burung, kura-kura, dan pohon kelapa. Mereka berteman sangat lama dan sampai sekarang masih bersahabat.
Tiba suatu waktu, kura-kura dan burung memutuskan untuk meninggalkan pulau tersebut untuk berkelana. Sang kura-kura meninggalkan pulau dan menyelam ke seluruh bagian kedalaman laut samudera dan burung terbang mengelilingi dunia dengan sayapnya yang kuat.
Namun satu sahabat tidak meninggalkan pulau, dia adalah pohon kelapa yang memang tidak bisa mengikuti gerak sahabatnya. Di pulau itu ia sangat sedih karena tidak bisa keluar dari pulau.
Sudah beberapa tahun dan musim berlalu, lalu kembalilah sang burung dan kura-kura dari petualangannya. Mereka bertiga sangat senang karena bisa berkumpul lagi seperti dulunya.
Ditengah-tengah pertemuan mereka, sang pohon kelapa mengatakan, sangat kesepian di pulau itu apalagi tidak bisa menyelami samudra dan mengitari bumi seperti burung dan kura-kura.
Lalu sang kura-kura mengatakan, "Engkaulah yang sangat beruntung sahabatku, Ketika aku menyelami samudera, aku juga sering singgah disetiap pulau, yang sering aku lihat adalah pohon kelapa sepertimu dan itu terjadi terus menerus dilanjutkan lagi oleh sang burung, "Engkau sangat berarti sahabatku karena setiap aku beristirahat setelah terbang jauh, aku bertengger di pohon kelapa sepertimu di seluruh dunia,"
Semua pulau punya pohon kelapa dan tanpa kau sadari bahwa sering buahmu jatuh dan hanyut di terpa ombak dan kemudian di manfaatkan oleh banyak makhluk hidup.
Seperti kisah mereka, tentunya penulis itu seperti sang pohon kelapa. Tanpa kita sadari bahwa tulisan kita telah menjelajah ke seluruh dunia meskipun kita hanya berada di rumah, kampus atau di kost.
Tanpa kita sadari, kalau tulisan kita sangat bermanfaat bagi orang lain. Bisa saja tulisan kita dijadikan unsur dari pidato presiden Amerika ataupun Korea utara meskipun kita telah tiada di dunia ini.
Itulah keabadian penulis.
Menjadi penulis yang baik akan mengabadikan diri kita dalam karya.
Kumulai dengan pertanyaan apa yang kau baca dan mengapa membacanya seperti itu. Keseriusan dengan titik fokus pada bacaan membawanya memaknai tiap rangkain kata yang ada.
Membaca dengan jiwa yang tenang dan nyaman tentu membuat suasana hati terlarut dalam suasana dari buku. Yah, itulah yang dirasakan temanku. Buku yang menyimpan kesan tanpa batas menjadi penghibur tersendiri bagi penikmatnya. Lantas bagaimana dengan penulisnya.
Aku mempertanyakan kepada temanku tentang apa yang dirasakan penulisnya ketika kita membaca tulisan di bukunya.
Seperti normalnya pertanyaan di balas dengan pernyataan berupa jawaban. Dia menjelaskan. "Yang dirasakan penulis yakni diatas ketenangan dan kenyamanan yang kau rasakan dalam wujud keabadian," begitulah yang dirasakan penulis, ucapnya.
Beberapa saat kemudian, aku bertanya lagi dengan kritisku. Tolak ukur keabadian penulis itu seperti apa? Dengan respon dia menjawab, akan kujelaskan analoginya.
Selanjutnya kusimak apa yang dimaksudkan kerabatku itu, dengan akal yang bertanya-tanya.
Dia menjelaskan ibaratnya, ada sebuah pulau yang ditinggali oleh 3 sekawan, mereka adalah burung, kura-kura, dan pohon kelapa. Mereka berteman sangat lama dan sampai sekarang masih bersahabat.
Tiba suatu waktu, kura-kura dan burung memutuskan untuk meninggalkan pulau tersebut untuk berkelana. Sang kura-kura meninggalkan pulau dan menyelam ke seluruh bagian kedalaman laut samudera dan burung terbang mengelilingi dunia dengan sayapnya yang kuat.
Namun satu sahabat tidak meninggalkan pulau, dia adalah pohon kelapa yang memang tidak bisa mengikuti gerak sahabatnya. Di pulau itu ia sangat sedih karena tidak bisa keluar dari pulau.
Sudah beberapa tahun dan musim berlalu, lalu kembalilah sang burung dan kura-kura dari petualangannya. Mereka bertiga sangat senang karena bisa berkumpul lagi seperti dulunya.
Ditengah-tengah pertemuan mereka, sang pohon kelapa mengatakan, sangat kesepian di pulau itu apalagi tidak bisa menyelami samudra dan mengitari bumi seperti burung dan kura-kura.
Lalu sang kura-kura mengatakan, "Engkaulah yang sangat beruntung sahabatku, Ketika aku menyelami samudera, aku juga sering singgah disetiap pulau, yang sering aku lihat adalah pohon kelapa sepertimu dan itu terjadi terus menerus dilanjutkan lagi oleh sang burung, "Engkau sangat berarti sahabatku karena setiap aku beristirahat setelah terbang jauh, aku bertengger di pohon kelapa sepertimu di seluruh dunia,"
Semua pulau punya pohon kelapa dan tanpa kau sadari bahwa sering buahmu jatuh dan hanyut di terpa ombak dan kemudian di manfaatkan oleh banyak makhluk hidup.
Seperti kisah mereka, tentunya penulis itu seperti sang pohon kelapa. Tanpa kita sadari bahwa tulisan kita telah menjelajah ke seluruh dunia meskipun kita hanya berada di rumah, kampus atau di kost.
Tanpa kita sadari, kalau tulisan kita sangat bermanfaat bagi orang lain. Bisa saja tulisan kita dijadikan unsur dari pidato presiden Amerika ataupun Korea utara meskipun kita telah tiada di dunia ini.
Itulah keabadian penulis.
Menjadi penulis yang baik akan mengabadikan diri kita dalam karya.